Kamis, 10 Juli 2014

suara jiwa

rintik hujan turun dari langit...
malam ini makin sepi
tanpa hadirmu
walaupun suara denting jam menemani

hujan..walaupun kau mengajakku bicara
tapi ku hnya ingin mendengar suara nya
walaupn hnya menyapa ku dlm htungan detik...

hait ini tak dapat di obati
luka itu terlalu dalam
hingga mengoyak jantung hati ku ini

hujan bisakah kau memberikan air suci mu
untuk menghlngkan rasa ini...

Wasiat Ayah

Aku tidur-tiduran di atas kasur sambil membaca buku pelajaran sekolah, tiba-tiba terdegar telpon berdering dan kemudian terdengar di ujung sana suara perempuan menjawab
“Assalamualaikum nak..” jawab wanita itu.
Akupun penasaran ingin mendegarkan apa perbincangan yang terjadi. Akupun mengintip dari balik tirai kamar dan melihat wanita yang sudah beranjak tua berbicara dengan sebuah telpon yang diletakkan di telinganya. Rambut wanita itu sudah mulai ditumbuhi dengan uban dan tangan keriputnya pun sudah mulai terlihat tapi suara lemah lembutnya tak berubah dari dulu sampai sekarang. Yah dialah ibuku, wanita terhebat yang pernah aku kenal.
Ibuku hanya melihatku sepintas saja kemudian dia melanjutkan percakapannya dengan telpon itu.
 “Uang kita sedang menipis nak, sawah belum di panen dan bawang pun belum berbuah” jawab ibuku.
“Ya nanti ibu usakahan, nanti ibu katakan sama Ayahmu, sekarang Ayahmu sakit. Untuk berobatpun kita pinjam ke tetangga nak. Hanya kerbau saja yang tinggal dan itupun tak bisa di jual. Kerbau itu untuk membiayai adikmu sekolah nanti”.
“Halo… halo…”. Tiba-tiba terputus.
Suasana hening. Hanya tinggal ibuku menatap telpon dan kemudian menghembuskan nafas panjang.
“ Ada apa Bu?” kataku memecah keheningan.
“ Abangmu perlu uang nak, untuk membiayai uang kuliahnya. Ah.. itu bukan urusanmu. Kau lanjutkan saja belajarmu” kata Ibuku.
Akupun pergi ke kamar dan bertanya-tanya kenapa wajah ibu seperti itu. Apakah ada kata-kata abang yang merusak hatinya?. Aku tak tahu kenapa raut wajah itu berubah seketika? Ah semoga tak terjadi apa-apa.
Pagi itu ketika aku mandi terdengar percakapan antar ibuku dan ayahkku di dapur kami. Jarak kamar mandi yang tak jauh dari dapur membuat suara percapakan kedua orang tuaku terlihat jelas. Hanya bambu kecil yang memisahkan kamar mandir dan dapur sehingga percakapan itu terdegar jelas di telingaku.
“ Apa yang harus kita lakukan uda, tak mungkin kerbau amanat bapakmu kita jual?” kata ibuku.
“ Kita tak mungkin meminjam uang jurangan terus nur, kau kan tahu dia ibarat seorang rentenir yang meminjam bunganya akan berlipat” kata Ayahku pelan.
“ Tak ada jalan lain nur, hanya kerbau yang kita punya. Tak apa Nur, taka pa kita jual kerbau ini. Semoga anak kita tak seperti kita nantinya yang sekolah hanya sampai SMP saja. Itu pun sudah tak tamat karna tak ada biaya. Aku tak ingin nasib anakku seperti aku nantinya. Pendidikan sangat penting sekarang. Biarlah nur.”
Akhirnya pagi itu setelah aku pergi sekolah ayahku pergi kepasar untuk menjual kerbaunya. Kerbau warisan kakek kami hanya kerbau itu satu-satunya harapan untuk membiayai sekolah abangku.
Suara azan mengema di telingaku menandakan shalat subuh sudah masuk. Akupun bergegas keluar kamar dan segera ambil wudhu. Air wudhu pagi memang sejuk membuat pikiran damai dan jiwa tenang.
Seusai shalt shubuh aku di panggil oleh ayahku
“ayah pergi dulu ya. Mengantarkan uang untuk abangmu.” Kata ayahku sambil mengelus kepalaku.
Kemudian aku cium tangganya yang kurus dan bekas-bekas luka  dijarinya. Mungkin bekas luka itu karna menolong orang panen padi sebelumnya. “ taka pa ayah.mungkin hari ini nasib yang tak berpihak pada kita. Tapi besok akan aku buat kita yang akan mengalahkan nasib”

### bersambung.... nantikan kelanjutannya