Aku duduk dikegelapan malam tampa berbuat apapun. Sebuah handphone di tanganku tetapi tak sekalipun berbunyi dari tadi, tak tahu apa yang harus ku lakukan. Kegelapan malampun seolah bertanya padaku "mengapa kau sendirian disini?"
Aku hanya diam membisu tak ada jawaban.
"Apakah rasa sepi itu tak juga hilang darimu? Sudah seminggu saya perhatian kau disini? Tapi kau hanya diam dan duduk bermenung. Sebenarnya apa yang kau pikirkan anak muda?"sahutnya padaku.
Aku hanya tersenyum getir menyambut pertanyaannya.
"Ya sudahlah anak muda kau habiskan saja waktumu bermenung. Jika itu membuatmu tenang". Itu kata terakhir yang ku dengar kegelapan malam itu.
Aku tersenyum dan aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Dibenakku hanya ada "dia". Yah "dia".
Satu minggu sebelumnya.
Langit begitu indahnya dihadiri awan berlari-lari riang di atasnya. Siang itu hari begitu cerah. Merpatipun bergelut riang dengan pasangannya. Dan akupun menunggu seorang pria yang jauh disana. Yah, hari ini adalah hari janjian kami berdua. sudah lama aku menantinya bahkan langit siang inipun tahu kalau aku menunggunya.
Wajahku sudah kusapu dengan make up dan blash on supaya terlihat segar bertemu dengannya. Aku datang lebih awal, 30 menit dari janjian kami. Supaya tak kelihatan gugup, akupun mempersiapkan kata untuk menyambut pujaan hatiku.
Teringat akan 2 tahun yang lalu.
Berbicara via suara saja dengannya. Tak bisa memandang wajahnya yang sayu dan indah senyumnya. Dia lelaki yang baik dan dia lelaki yang ingin ku Jadikan imam di keluarga kecil kami mantinya. Diapun berharap demikian.
Yah kami satu sama lain sangat dibutuhkan. Bagaikan handphone dan kartu. Jika tak ada kartu bagaimana handphone akan berguna begitupun jika hanya ada kartu tapi handphone tak ada..begitu lah aku dengannya aku handphone dan dia kartu.
Akupun tersentak dari lamunanku yang mengigat masa indah kami dulunya. Angin sepoy-sepoy dengan riang menerpa wajahku dan daun keringpun berjatuhan satu demi satu. Dari kejauhan aku memandang seorang lelaki tinggi berkemeja coklat dengan seorang yang agak lebih pendek darinya seperti seorang wanita. Mungkin itu ibunya pikirku. Lelaki itu semakin mendekat dan hidung mancungnyapun terlihat menawan diiringi matanya yang sayu.
Dia tersenyum padaku. Wanita disampingnyapun juga tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. Lelaki itu adalah Hasan. Seorang pria yang sudah lama kutunggu untuk menjemputku melangkah kepelaminan. Tapi Ada yang aneh dengan wanita itu. Dia bukan ibunya Hasan. Tak ada kerutan di wajahnya dan dia juga masih segar mungkin lebih muda dariku beberapa tahun.
Hasan menyapaku "Sudah lama menunggu dek?" .
"Tak juga bang" jawabku singkat.
Hatiku mulai tak karuan. Pikiranku berkecamuk. Siapa wanita yang dibawa Hasan?.
" ini adekmu bang?" Tanyaku pada Hasan sambil memandangi wajah elok wanita itu.
Setahuku Hasan tak punya adek bahkan dia anak semata wayang dari keluarganya.
"Bukan. Ini istriku "
Serasa bom atom meledak di dadaku. Jantungku berdetak tak karuan. Mukaku mulai memerah dan serasa mata ini mau mengeluarkan rintik-rintik air. Tapi kutahan. Aku tak mau menangis untuk hal semacam ini.
Kupaksakan tersenyum dengan kejadian itu. Aku tak kuat aku ingin pergi. Kenapa dia melakukan hal ini padaku. Mungkin merpati yang tadi makan di depan kami akan mencakar Hasan yang telah berbuat seperti itu.
"Aku pergi dulu ya bang. Karena banyak kerjaanku belum kuselesaikan" ucapku pada mereka.
"Dek.. dek... !!!!! " Hasan memangilku. Tapi takku hiraukan, aku hanya berjalan kedepan dan tak ingin melihat wajahnya dan wanita yang dibawanya.
Satu hari kemudian.
Hari memang cerah tapi hatiku mendung. Hasan mengajakku bertemu siang ini tapi aku sangat malas dan tak ingib mendengarkan penjelasannya. Tapi dia mau menjelaskan yang sesungguhnya padaku.
Siang itu kami bertemu kembali.
Wajahku sembab mataku masih terlihat sisa bengkak karena menangis sehari semalam. Tapi aku sadar tak perlu ditangisi.
Kali ini dia yang lebih duluan datang dari janjian kita. Sebuah cafe klasik tempat kami bertemu.
"Hmmmnm.. mau pesan apa?" Tanyanya padaku.
"Aku tak berselara untuk makan apa." Jawabky singkat.
"Avocado juice saja?" Tanyanya padaku kembali. Avocado juice memang kesukaanku dari dulu dan dia tak pernah lupa jika kami makan berdua untuk memesan minuman yang satu ini.
Aku hanya mengangguk saja dan diam.
"Mas...mas" dia memnaggil pelayannya.
"Avocado juicenya satu"
Ungakapnya pada pelayan itu.
Diam bebrapa saat.
"Bukan maksdku untuk betbuat seprti itu dek" ungakapnya membuka percakapan. Diam membisu itulah jawabku.
"aku terpaksa menikahi dia"
Dia menghirup nafas dalam.
"Aku masih mencintai dan menyayngimu dek"
"Apakah sopan mengatakan mengatakan cinta dan sayang sedangkan kau sudah beristri Hasan?" Sambil tersenyum miring
"Yah memang tak pantas. Tapi itu memang benar adanya. Aku masih sayang padamu dek" suaranya mulai melemah.
"Sudah cukup kau berbuat seperti itu padaku dan jangan sampai kau lakukan untuk istrimu. Aku tak suka melihatmu lagi. Akan ku hapus semua kenangan kita dan kita akan kembali ke awal bahwasanya kau tak pernah ada di hidupku. Dan asalkan kau tahu, aku menyesal mengenalmu dalam hidupku" suaraku mulai bergetar.
"Ini juga bukan kehendakku dek" dia meraih tanganku dan ku lepaskan.
"Ini yang kau lakukan. Kau punya istri dan kau memegang tangan wanita lain. Sudahlah Hasan. Tak perlu kau menghungiku lagi dan tak perlu kau jelaskan semua ini padaku." Suara ku meninggi mungkin seisi ruangan itu mendengar apa yang ku katakan.
Dia dan dan aku diam.
"Aku menikahinya karena dia orang tuanya tak ada lagi di dunia. Dia hidup sebatangkara dan tak ada yang membiayainya. Aku terpaksa menikahinya karena itu. Dan keluaragkupun menjodohkan kami"
"Jadi kau tak memikirkan perasaanku Hasan?"
"Kelarganya meninggal karena kecelakaan dan itu karena aku dek.
Aku yanenyebabkan accident itu. Dan aku akan bertangging kawab akan dia."
Yah.. memang dia pernah mwngatakn padaku bahwasanya dia kecelakaan dan kondisinya tak terlalu parah dan orang yang ditabraknya kritis. Tapi dia tak menceritakan wanita itu. Wanita yang sekarang menjafi istriny.
"Yah.. aku mengerti Hasan. Dan mungkin kita tak berjodoh" suaraku mulai mengecil.
"Tapi aku sangat sayang padamu. Aku telah meminta izin pada Ima dan dia menyetujui"
"Menyetujui maksudnya" akupun heran.
"Dia tahu akan kau dek. Dan dia juga tahu bahwa aku sangan mencintaimu. Maukah kau menjadi istriku?"
"Maksudnya?. Kau jadikan aku isti kedua mu?"
"Bukan maksudku begitu dek"
Air mata ini tak bisa ku bendung. Dan tangisku pecah siang itu. Dia menenagkanku. Aku tak ingin menagis didrpannya tapi air mata ini tak hentinya keluar dari mataku.
1 jam kemudian
"Mungkin ini yang terbaik buat kita bang. Mungkin kau bukan jodohku dan ku bukan jodohmu. Semoga kau bahagia dengan istrimu. Aku tak ingin merusak rumah tangga orang walaupun istrimu mengizinkan hal itu. Lambat laun pedih hati akan hilang bang. Cinta tak harus memiliki".
Aku pergi meniggalkannya dia hanya menunduj kaku ada butiran halus dipipinya mungkin itu air mata terakhir yang kulihat darinya.
........
Dan aku duduk di bawah kegelapan ini sampai kapan. Aku tak tahu. Mungki sampai sesorang yang baru datang padaku.